Dari hembusan sangkakala yang tertinggal
Jauh sebelum adanya masa depan tercipta
disini ruhku ditiup
Dari pecahan tangis suciku
Mereka menamaiku kebaikan
Tertulis tulus kepada yang dikasihi
Lalu jemari berjalan di atas titian
Mata yang mendengar
Telinga yang melihat
Kidung dari sang ayah bercerita
Dan dari pecahan tangis suciku
Berdayalah aku dalam sisi berbeda
Tuhan tahu yang kita tak tahu
Apa-apa yang menjadi suratan
Langit ke bumi yang menjadikan
sayapku tak berwarna putih
“Oh, kau tetap malaikatku. Azimat pelindungku.”
Sayup-sayup kudengar suaranya yang aku sebut ibu.
Ah, aku memang pandir melukis kata
Ingin rasanya saat itu aku menyusup ke hatinya
Lalu berbisik, “Jangan cemaskan aku, Ibu.
Inilah yang terindah.”
Sangat indah!
Seperti senja yang kupandangi sore ini
Berteman secangkir kopi
juga sudut kota ini yang hadir
dengan ribuan kenangan usang
dan almanak berdebu
Sempurna melipat jarak dalam guntingan
Di Cimanggu, dongeng-dongeng hebat yang pernah ada
Bagai mawar, aku merekah dalam pesona tersendiri
Dengan hujan atau terik yang menjilati punggung mungilku
Atau segores pilu atau tawa merdu dari alam yang kucipta
Inilah aku sebagai malaikat tak bersayap putih
Karena aku tetaplah azimat terhebat ibuku
dan kidung puja-puji terindah bagi ayahku